Pendudukan Tiga Setengah Tahun Jepang Lebih Kejam dari Belanda? - FeriNgeblog
Headlines News :
Home » » Pendudukan Tiga Setengah Tahun Jepang Lebih Kejam dari Belanda?

Pendudukan Tiga Setengah Tahun Jepang Lebih Kejam dari Belanda?

Written By Unknown on Jumat, 31 Agustus 2012 | 14.28

1346081304537872143
Birunya langit hijaunya daun musim panas di Wisma Duta
Di tengah sergapan udara panas menyengat di daerah Gotanda sebuah wilayah kota metropolitan Tokyo. Suara serangga tonggeret, atau garengpung, orang Jawa menyebutnya, melengkapi suasana khas musim panas di Jepang. Dua sosok sepuh berbangsa Jepang nampak duduk dengan sabar dalam suasana persiapan penurunan bendera merah putih tanggal 17 Agustus peringatan hari kemerdekaan RI ke-67 di Jepang. Beliau adalah ibu Watanabe, sering disebut si nenek oleh warga Indonesia di Tokyo, berusia sekitar 80-an tahun dan bapak Yamaguchi, seorang bapak berusia 70-an tahun. Mereka bersedia hadir dalam acara itu karena alasan khusus. Mereka merasa sebagai bagian dari sejarah Indonesia. Mereka lahir di Indonesia dan sempat mengalami masa kanak-kanak, yang menurut ibu Watanabe menjadi bagian yang cukup indah dalam hidupnya. Ketika saya berusaha untuk menyapa beliau, beliau dengan suara lirih mengatakan, “Mohon maaf, saya sudah lupa siapa Anda, karena mata saya sudah susah untuk melihat. Saya mohon maaf, ya,” katanya syahdu. Nampaknya tubuhnya sudah tidak setegar 4 tahun lalu ketika pertama kali bertemu dengan beliau. Begitulah bukti cinta beliau dengan Indonesia, meski badannya renta karena usia dan waktu, meski udara panas melanda Tokyo, beliau sempatkan hadir dalam beberapa menit di acara penurunan bendera itu. Saya tidak kuat merasakan keharuan dalam dada.
1346081200159809887
Sedikit berbeda dengan Yamaguchi-san yang tubuhnya lebih kuat, karena tentu saja beliau lebih muda. Beliau selalu bangga dengan kehadirannya di setiap upacara-upacara yang diselenggarakan oleh KBRI Tokyo. Beliau sering mengenakan batu batik dan peci hitam dalam kesehariannya. Di depan rumahnya, ia pasang tulisan, rumah ini adalah rumah Yamaguchi yang pernah tinggal di Semarang Jawa. “Meski pun saya Jepang totok, saya merasa memiliki darah Indonesia. Saya lahir di Semarang dan minum susu di tanah Jawa,” demikian alasannya.1346083930372456875

13460814052133379773
Yamaguchi-san

13460828322011237305
Salon/barber shop Yamaguchi-san senior di Semarang
Sama dengan Watanabe-san, Yamaguchi-san terpaksa pulang ke Jepang karena dipanggil pulang oleh pemerintah Jepang. Pemerintah Jepang menugaskan kapal-kapal penumpangnya untuk mengangkut penduduk imigran Jepang kembali ke Jepang sebagai perlindungannya terhadap warganya di Hindia Belanda. Jepang memang telah mempersiapkan peperangan melawan Belanda. Merasa berkewajiban melindungi warganya di Hindia Belanda, pemerintah Jepang dengan sengaja mengirimkan kapal penumpang untuk menjemput mereka. Berbeda dengan di Brazil mau pun di Amerika Utara yang warga Jepangnya tidak dijemput pulang secara resmi. Apakah seandainya Jepang tidak pernah menduduki Indonesia, mungkin akan ada sejarah keturunan Jepang di Indonesia seperti di Brazil atau Hawai? Barangkali iya, tapi kita tidak akan mungkin berandai-andai dalam sejarah.
1346082524363827680
Kapal Fuji Maru tahun 1942 yang digunakan untuk mengangkut warga Jepangj
Tetapi sejarah ini sering terlupakan. Kebanyakan bangsa Indonesia fokus pada sejarah pendudukan militer Jepang di Indonesia. Banyak rakyat Indonesia, bahkan generasi muda mengutuk memberikan sumpah serapah pada penjajahan ini. Jangan salahkan mereka, generasi muda, jika mereka tidak berpikir kritis terbuka terhadap penjajahan ini. Buku pelajaran kita dipenuhi oleh hal tersebut, namun para pendidik jarang memberikan ruang bagi rakyat Indonesia, khususnya generasi muda, untuk berpikir kritis.
Jepang kejam. Jepang biadab. Nenek kami hanya memakan makanan basi, sisa dan berbaju seadanya. Nenek dan kakek kami begitu menderita pada penjajahan Jepang. Banyak yang bilang, “Penjajahan tiga setengah tahun Jepang lebih kejam dibandingkan penjajahan tiga setengah abad bangsa Belanda.”
Sekitar 5000 imigran Jepang pernah tercatat dalam sejarah Indonesia, di masa Hindia Belanda. Mereka mencari nafkah menjadi pelacur, pedagang keliling hingga kemudian hari mereka menjadi juragan yang sukses di tanah perantauan. Banyak orang kurang tahu kisah Nomura Zaibatsu, yang didirikan Tokusichi Nomura, yang di kemudian hari memiliki salah satu perusahaan gurita raksasa Jepang, Nomura Trading Company yang memiliki Nomura securities, Bank Resonia, memulai bisnisnya dari sebuah kawasan kebun karet di Kalimantan. Mereka Sebagian dari mereka memiliki rasa dan kecintaan yang mendalam tentang Indonesia. Sebagian besar dari mereka, terutama dari generasi awal tidak begitu terlibat dengan pemerintah Jepang untuk menjadi “tangan kanan” informan atau mata-mata. Tapi kenyataannya, mereka dicap mata-mata. Mereka dianggap bagian dari kutukan penjajahan Jepang di Indonesia. Ya, Watanabe-san, yang sudah rapuh itu dicap sebagai bagian konspirasi Jepang untuk merebut negara kita.

1346084052262078648
Murid-murid Sekolah Jepang di Semarang
Haruskah kita harus teguh untuk “percaya” bahwa sejarah itu tidak dinamis dan kritis?
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengubah “kesan” kekejaman pendudukan militer pemerintah Jepang. Tapi saya mengajak kita untuk mengkritisi sejarah kita dengan pandangan lebih terbuka. Tapi saya hanya ingin mengajak rakyat Indonesia lebih melihat masyarakat Jepang lebih jernih dan manusiawi. Bukan sekedar aktor sejarah yang bejat.
Sejarah adalah bagian dari kehidupan. Siapkah kita mengambil hikmah terbaik dari sejarah kelam kita?
Sebagai catatan terakhir, tulisan ini akan saya buat bersambung. Beberapa tulisan saya coba untuk menampilkan beberapa otentik yang mungkin telah dan akan saya dapatkan. Harapan saya satu, agar bangsa kita tidak perlu mengumbar sumpah serapah dengan sejarah yang pilu. Semoga, bangsa Indonesia.
Tokyo, 28 Agustus 2012

“Nama saya Mardiyem. Tentara Jepang menyebut nama saya dengan Momoye,” katanya membuka ceritanya. Di masa mudanya Mardiyem dibujuk untuk sekolah di Jepang. Sebagai seorang yang menyenangi kesenian, khususnya tarian, ia mengiyakan kerabat yang mengajaknya pergi ke Jepang untuk belajar tarian. Namun tak disangkanya ia akan mengalami sebuah mimpi buruk setelah itu. Alih-alih belajar seni di Jepang, dia malahan dikirim ke sebuah base camp tentara Jepang di Terawang Kalimantan. Asrama yang sebenarnya sebuah rumah bordil bagi tentara Jepang. Hari-hari berikutnya bak sebuah mimpi buruk bagi hidupnya. Ia dipaksa menjadi pelayan seks bagi tentara Jepang. Ia dijanjikan uang setelah pelayanannya dengan semacam kupon setiap melayani seorang tentara Jepang. Ia harus melayani jika ia diminta meski ia tidak mau. Bahkan ia terpaksa melayani tentara Jepang, yang menurutnya bisa jadi stress, lebih dari satu kali. Kadang merek tidak mengerti jika ia sedang menstruasi. Jika menolak, beresiko untuk dihajar. Ia pun merasakan hajaran itu beberapa kali hingga beberapa tubuhnya, mata dan kepalanya di antaranya, cacat hingga akhir hayatnya.

13462500681973834060
Ibu Mardiyem di atas kapal Awani Dream

Satu episode yang mengenaskan Momoye yang harus merelakan jabang bayi tak berdosanya untuk diaborsi secara paksa. Bayi tak berdosa ini dipaksa keluar oleh seorang dokter pribumi, seorang dari suku Dayak. Perutnya dipukul-pukul hingga sang jabang bayi harus keluar. Ia masih melihat jabang bayinya bergerak-gerak. Antara kesakitan, marah dan sedih, ia sudah tidak mampu berbuat apa-apa. Ia hanya pasrah.

Hingga hari-hari Jepang menyerah kalah, ia masih membawa kupon yang tidak akan pernah ia bisa tukarkan dengan uang ketika keluar dari “asrama” bejat itu.


Suatu hari di tahun 1996. Di tengah gelombang lautan di atas kapal berbendera Panama, Awani Dream, sungguh saya terperangah. Cerita Momoye, seorang Jugun Ianfu berasal Indonesia, sungguh menghentak bagai menggulung ombak laut yang tengah kami lalui. Ia mungkin bukan pembicara yang mahir dan terlatih bak politikus. Tapi ceritanya mampu menggetarkan siapa saja yang mendengarnya. Kisahnya lebih memabukkan dari pada getaran gelombang laut saat itu.

Tuhan telah mengatur pertemuan saya dengan beliau di tahun 1996 hingga saya mendengar kisahnya yang begitu kelam dan pilu. Saat itu saya baru saja lulus sarjana. Kami berdua di dalam kabin di sebuah kapal pesiar menyeberangi lautan dari Denpasar ke Cairns, Australia. Pertemuan dan pengalaman ini merupakan satu hal yang tak akan pernah terlupakan. Akan terus berbekas di benak saya. Tidak pernah.

Ibu Mardiyem, wanita yang ringkih namun perkasa ini memberikan banyak pelajaran. Pada satu titik, dia menerima kehidupan apa adanya. Meski dia sebenarnya tidak rela dirinya dianggap rendah oleh lingkungannya. Ia harus rela dicap sebagai seorang “pelacur Jepang”, meski sebenarnya ia diming-imingi oleh seorang kerabatnya untuk sekolah seni di Jepang. “Catering saya akhirnya saya tutup karena tetangga-tetangga saya kemudian bergunjing, yang masak pelacur Jepang,” ceritanya dalam logat Jawanya yang kental. Ia seperti terjatuh dari tangga dan kemudian tertimpa tangganya. Siksaan pedih dari tentara Jepang telah usai. Tapi siksaan batin dari orang-orang sekitar juga pedih bagi batinnya.


Tapi bisiknya kepada saya, “Saya masih beruntung, Nak. Saya masih ada suami yang mau menikahi saya. Masih ada anak yang bisa saya angkat sebagai anak, karena rahim saya telah rusak digempur poros senapan tentara Jepang itu.” Kata-katanya tidak berapi-api karena ia sudah menerima jalan kehidupannya.


Banyak tulisan kekejaman pemerintah militer Jepang memberikan bekas luka perih bagi para korban mau pun pembacanya. Romusha atau jugun ianfu (comfort women/perempuan budak seks) adalah contoh dari korban-korban itu. Mereka mungkin mati, mereka diinjak-injak, mereka disiksa baik secara fisik mau pun batin.

Apapun juga perang yang dilandasi oleh dasar keserakahan dan ambisi yang berlebihan memang membawa kesengsaraan. Hal ini tidak bisa dipungkiri. Rakyat Jepang juga tidak bersuka-cita dengan adanya perang. Setelah Jepang menyerah terhadap tentara sekutu, rakyat Jepang antre mendapatkan makan. Bahkan sebelum perang pun, kehidupan sehari-hari mereka belum makmur. Masih ingat Watanabe-san di tulisan saya pertama? “Ketika saya baru pulang dari Hindia Belanda di tahun 1941, saya menggunakan sepatu yang biasa digunakan di Hindia Belanda. Saya dikerubuti oleh teman-teman saya dari Jepang. Mereka baru pertama kali melihat sepasang sepatu dalam hidup mereka. Sehingga saya diejek oleh teman-teman yang bertelanjang kaki. ”



Kepercayaan bangsa Jepang, yang percaya dewa-dewi dan animisme, Mereka pun memaksa rela hidup menderita demi kejayaan negara dan umur panjang kaisarnya, meski terpaksa hidup menderita. Mereka harus merelakan anak-anak, suami, keluarga dan para golongan laki-laki muda mereka untuk dijadikan prajurit, yang berarti harus siap untuk mati di medan pertempuran. Demi sebuah doktrin. Ya, doktrin yang berakhir menyakitkan bagi bangsa Jepang sendiri.

Kerja keras bangsa Jepang untuk memenuhi ambisi dan keserakahan ini menjadi bumerang bagi Jepang. Sebuah bom atom pun akhirnya harus meletus di kota Hiroshima. Ribuan ribu nyawa melayang. Penyakit mewabah, rakyat tak berdosa meretas nyawa. Apakah balasan jugun ianfu dan romusa telah terbalaskan oleh si Little Boy (bom atom yang dijatuhkan ke kota Hiroshima)?


Source: http://www.english.illinois.edu/maps/poets/g_l/levine/bomb/hiro3.gif

Source: http://www.english.illinois.edu/maps/poets/g_l/levine/bomb/nag2.jpg
Source: http://www.english.illinois.edu/maps/poets/g_l/levine/bomb/nag2.jpg

134625076857795824Peringatan Bom Hiroshima 2012 yang dihadiri oleh PM Noda

Metavida
Tokyo, 29 Agustus 2012.
Share this article :
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. FeriNgeblog - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger