bapak Yamaguchi, seorang bapak berusia 70-an tahun. Mereka bersedia hadir dalam acara itu karena alasan khusus. Mereka merasa sebagai bagian dari sejarah Indonesia. Mereka lahir di Indonesia dan sempat mengalami masa kanak-kanak, yang menurut ibu Watanabe menjadi bagian yang cukup indah dalam hidupnya. Ketika saya berusaha untuk menyapa beliau, beliau dengan suara lirih mengatakan, “Mohon maaf, saya sudah lupa siapa Anda, karena mata saya sudah susah untuk melihat. Saya mohon maaf, ya,” katanya syahdu. Nampaknya tubuhnya sudah tidak setegar 4 tahun lalu ketika pertama kali bertemu dengan beliau. Begitulah bukti cinta beliau dengan Indonesia, meski badannya renta karena usia dan waktu, meski udara panas melanda Tokyo, beliau sempatkan hadir dalam beberapa menit di acara penurunan bendera itu. Saya tidak kuat merasakan keharuan dalam dada.
Sedikit berbeda dengan Yamaguchi-san yang tubuhnya lebih kuat, karena tentu saja beliau lebih muda. Beliau selalu bangga dengan kehadirannya di setiap upacara-upacara yang diselenggarakan oleh KBRI Tokyo. Beliau sering mengenakan batu batik dan peci hitam dalam kesehariannya. Di depan rumahnya, ia pasang tulisan, rumah ini adalah rumah Yamaguchi yang pernah tinggal di Semarang Jawa. “Meski pun saya Jepang totok, saya merasa memiliki darah Indonesia. Saya lahir di Semarang dan minum susu di tanah Jawa,” demikian alasannya.
Sama dengan Watanabe-san, Yamaguchi-san terpaksa pulang ke Jepang karena dipanggil pulang oleh pemerintah Jepang. Pemerintah Jepang menugaskan kapal-kapal penumpangnya untuk mengangkut penduduk imigran Jepang kembali ke Jepang sebagai perlindungannya terhadap warganya di Hindia Belanda. Jepang memang telah mempersiapkan peperangan melawan Belanda. Merasa berkewajiban melindungi warganya di Hindia Belanda, pemerintah Jepang dengan sengaja mengirimkan kapal penumpang untuk menjemput mereka. Berbeda dengan di Brazil mau pun di Amerika Utara yang warga Jepangnya tidak dijemput pulang secara resmi. Apakah seandainya Jepang tidak pernah menduduki Indonesia, mungkin akan ada sejarah keturunan Jepang di Indonesia seperti di Brazil atau Hawai? Barangkali iya, tapi kita tidak akan mungkin berandai-andai dalam sejarah.
Tetapi sejarah ini sering terlupakan. Kebanyakan bangsa Indonesia fokus pada sejarah pendudukan militer Jepang di Indonesia. Banyak rakyat Indonesia, bahkan generasi muda mengutuk memberikan sumpah serapah pada penjajahan ini. Jangan salahkan mereka, generasi muda, jika mereka tidak berpikir kritis terbuka terhadap penjajahan ini. Buku pelajaran kita dipenuhi oleh hal tersebut, namun para pendidik jarang memberikan ruang bagi rakyat Indonesia, khususnya generasi muda, untuk berpikir kritis.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengubah “kesan” kekejaman pendudukan militer pemerintah Jepang. Tapi saya mengajak kita untuk mengkritisi sejarah kita dengan pandangan lebih terbuka. Tapi saya hanya ingin mengajak rakyat Indonesia lebih melihat masyarakat Jepang lebih jernih dan manusiawi. Bukan sekedar aktor sejarah yang bejat.
Tokyo, 28 Agustus 2012
“Nama saya Mardiyem. Tentara Jepang menyebut nama saya dengan Momoye,” katanya membuka ceritanya. Di masa mudanya Mardiyem dibujuk untuk sekolah di Jepang. Sebagai seorang yang menyenangi kesenian, khususnya tarian, ia mengiyakan kerabat yang mengajaknya pergi ke Jepang untuk belajar tarian. Namun tak disangkanya ia akan mengalami sebuah mimpi buruk setelah itu. Alih-alih belajar seni di Jepang, dia malahan dikirim ke sebuah base camp tentara Jepang di Terawang Kalimantan. Asrama yang sebenarnya sebuah rumah bordil bagi tentara Jepang. Hari-hari berikutnya bak sebuah mimpi buruk bagi hidupnya. Ia dipaksa menjadi pelayan seks bagi tentara Jepang. Ia dijanjikan uang setelah pelayanannya dengan semacam kupon setiap melayani seorang tentara Jepang. Ia harus melayani jika ia diminta meski ia tidak mau. Bahkan ia terpaksa melayani tentara Jepang, yang menurutnya bisa jadi stress, lebih dari satu kali. Kadang merek tidak mengerti jika ia sedang menstruasi. Jika menolak, beresiko untuk dihajar. Ia pun merasakan hajaran itu beberapa kali hingga beberapa tubuhnya, mata dan kepalanya di antaranya, cacat hingga akhir hayatnya.
Di tengah sergapan udara panas menyengat di daerah Gotanda sebuah wilayah kota metropolitan Tokyo. Suara serangga tonggeret, atau garengpung, orang Jawa menyebutnya, melengkapi suasana khas musim panas di Jepang. Dua sosok sepuh berbangsa Jepang nampak duduk dengan sabar dalam suasana persiapan penurunan bendera merah putih tanggal 17 Agustus peringatan hari kemerdekaan RI ke-67 di Jepang. Beliau adalah ibu Watanabe, sering disebut si nenek oleh warga Indonesia di Tokyo, berusia sekitar 80-an tahun danSedikit berbeda dengan Yamaguchi-san yang tubuhnya lebih kuat, karena tentu saja beliau lebih muda. Beliau selalu bangga dengan kehadirannya di setiap upacara-upacara yang diselenggarakan oleh KBRI Tokyo. Beliau sering mengenakan batu batik dan peci hitam dalam kesehariannya. Di depan rumahnya, ia pasang tulisan, rumah ini adalah rumah Yamaguchi yang pernah tinggal di Semarang Jawa. “Meski pun saya Jepang totok, saya merasa memiliki darah Indonesia. Saya lahir di Semarang dan minum susu di tanah Jawa,” demikian alasannya.
Sama dengan Watanabe-san, Yamaguchi-san terpaksa pulang ke Jepang karena dipanggil pulang oleh pemerintah Jepang. Pemerintah Jepang menugaskan kapal-kapal penumpangnya untuk mengangkut penduduk imigran Jepang kembali ke Jepang sebagai perlindungannya terhadap warganya di Hindia Belanda. Jepang memang telah mempersiapkan peperangan melawan Belanda. Merasa berkewajiban melindungi warganya di Hindia Belanda, pemerintah Jepang dengan sengaja mengirimkan kapal penumpang untuk menjemput mereka. Berbeda dengan di Brazil mau pun di Amerika Utara yang warga Jepangnya tidak dijemput pulang secara resmi. Apakah seandainya Jepang tidak pernah menduduki Indonesia, mungkin akan ada sejarah keturunan Jepang di Indonesia seperti di Brazil atau Hawai? Barangkali iya, tapi kita tidak akan mungkin berandai-andai dalam sejarah.
Tetapi sejarah ini sering terlupakan. Kebanyakan bangsa Indonesia fokus pada sejarah pendudukan militer Jepang di Indonesia. Banyak rakyat Indonesia, bahkan generasi muda mengutuk memberikan sumpah serapah pada penjajahan ini. Jangan salahkan mereka, generasi muda, jika mereka tidak berpikir kritis terbuka terhadap penjajahan ini. Buku pelajaran kita dipenuhi oleh hal tersebut, namun para pendidik jarang memberikan ruang bagi rakyat Indonesia, khususnya generasi muda, untuk berpikir kritis.
Jepang kejam. Jepang biadab. Nenek kami hanya memakan makanan basi, sisa dan berbaju seadanya. Nenek dan kakek kami begitu menderita pada penjajahan Jepang. Banyak yang bilang, “Penjajahan tiga setengah tahun Jepang lebih kejam dibandingkan penjajahan tiga setengah abad bangsa Belanda.”
Sekitar 5000 imigran Jepang pernah tercatat dalam sejarah Indonesia, di masa Hindia Belanda. Mereka mencari nafkah menjadi pelacur, pedagang keliling hingga kemudian hari mereka menjadi juragan yang sukses di tanah perantauan. Banyak orang kurang tahu kisah Nomura Zaibatsu, yang didirikan Tokusichi Nomura, yang di kemudian hari memiliki salah satu perusahaan gurita raksasa Jepang, Nomura Trading Company yang memiliki Nomura securities, Bank Resonia, memulai bisnisnya dari sebuah kawasan kebun karet di Kalimantan. Mereka Sebagian dari mereka memiliki rasa dan kecintaan yang mendalam tentang Indonesia. Sebagian besar dari mereka, terutama dari generasi awal tidak begitu terlibat dengan pemerintah Jepang untuk menjadi “tangan kanan” informan atau mata-mata. Tapi kenyataannya, mereka dicap mata-mata. Mereka dianggap bagian dari kutukan penjajahan Jepang di Indonesia. Ya, Watanabe-san, yang sudah rapuh itu dicap sebagai bagian konspirasi Jepang untuk merebut negara kita.Sejarah adalah bagian dari kehidupan. Siapkah kita mengambil hikmah terbaik dari sejarah kelam kita?
Sebagai catatan terakhir, tulisan ini akan saya buat bersambung. Beberapa tulisan saya coba untuk menampilkan beberapa otentik yang mungkin telah dan akan saya dapatkan. Harapan saya satu, agar bangsa kita tidak perlu mengumbar sumpah serapah dengan sejarah yang pilu. Semoga, bangsa Indonesia.Tokyo, 28 Agustus 2012
“Nama saya Mardiyem. Tentara Jepang menyebut nama saya dengan Momoye,” katanya membuka ceritanya. Di masa mudanya Mardiyem dibujuk untuk sekolah di Jepang. Sebagai seorang yang menyenangi kesenian, khususnya tarian, ia mengiyakan kerabat yang mengajaknya pergi ke Jepang untuk belajar tarian. Namun tak disangkanya ia akan mengalami sebuah mimpi buruk setelah itu. Alih-alih belajar seni di Jepang, dia malahan dikirim ke sebuah base camp tentara Jepang di Terawang Kalimantan. Asrama yang sebenarnya sebuah rumah bordil bagi tentara Jepang. Hari-hari berikutnya bak sebuah mimpi buruk bagi hidupnya. Ia dipaksa menjadi pelayan seks bagi tentara Jepang. Ia dijanjikan uang setelah pelayanannya dengan semacam kupon setiap melayani seorang tentara Jepang. Ia harus melayani jika ia diminta meski ia tidak mau. Bahkan ia terpaksa melayani tentara Jepang, yang menurutnya bisa jadi stress, lebih dari satu kali. Kadang merek tidak mengerti jika ia sedang menstruasi. Jika menolak, beresiko untuk dihajar. Ia pun merasakan hajaran itu beberapa kali hingga beberapa tubuhnya, mata dan kepalanya di antaranya, cacat hingga akhir hayatnya.